Langsung ke konten utama

Jejeg lan Miring

 Jejeg lan Miring

Bahasa jawa merupakan sarana komunikasi yang memiliki jangkauan yang sangat luas dan memiliki variasi kebahasaan yang bermacam-macam. Dan variasi itu memperlihatkan pola-pola tertentu, yang dipengaruhi pola sosial maupun yang bersifat geografis. Bahasa Jawa juga salah satu bahasa daerah, dari kurang lebih empat ratus bahasa daerah dan dialek yang terdapat di Indonesia.
Namun dalam penggunaannya, bahasa jawa sendiri sering terjadi adanya kesalahan baik dari lisan maupun secara tulisan. Kesalahan tersebut sering terjadi baik dari sisi pendidik maupun masyarakat pada umumnya. Hal ini disebabkan kurangnya pemahaman dari pendidik atau masyarakat akan ilmu kebahasaan atau linguistik dalam Bahasa Jawa. Dari itu pula, nantinya akan ada kesalahan secara turun-temurun.
 Memang bahasa selalu berkembang dan mengalami perubahan-perubahan. Namun jika dilihat dari segi linguistik dalam Bahasa Jawa, ada banyak ketentuan yang hendaknya kita pahami.
Sudah sepantasnya kita mulai membicarakan masalah ini untuk nantinya merambah luas dalam dunia pendidikan. Setidaknya dikemudian hari kita dapat meluruskan bahasa dari pendidik atau masyarakat umum yang sekiranya ada kesalahan.
Dilihat secara langsung, seakan kita tidak akan mampu merubah masalah tersebut secara umum. Karena jika dilihat dari segi sosialisasinya mungkin akan ada kesulitan. Namun, melalui instansi pendidikan kita mungkin bisa sedikit demi sedikit memberi materi mengenai linguistik Bahasa Jawa kepada guru-guru.
Agar materi yang kami maksudkan tidak meluas dan dapat mencapai tujuan yang jelas dan terarah perlu adanya pembatasan masalah. Pembahasan ini mengkaji fonologi dalam linguistik bahasa Jawa yang memfokuskan pada bunyi vokal.
Vokal bahasa Jawa ada 6 macam, didalamnya juga mengalami adanya perubahan bunyi vokal (alofon). 

                            
1.        Vokal “a”, mempunyai dua alofon:
a.         Vokal “a” jejeg (tegak)
Dalam vokal “a” jejeg, keadaan kata yang diucapkan seperti aksara jawa saat nglegena atau tanpa sandhangan. Lambang ejaan “a” jejeg kali ini kita akan memakai simbol [a].
Contoh ucapan dalam bahasa Jawa:
·           Ha, Na, Ca, Ra, Ka, dst.
·           lima, sanga, apa, lara, utawa, dst.
b.         Vokal “a” miring
Sedangkan dalam vokal “a” miring, diucapkan seperti vokal “a” yang ada pada bahasa Indonesia. Lambang ejaan “a” miring bisa menggunakan [A].
Contoh ucapan dalam bahasa Jawa:
·           aku, ora, tau, mangan, prawan, dst.
Namun untuk suara “a” jejeg akan menjadi suara “a” miring jika mendapat imbuhan atau panambang: -ne, -ku, -mu.
Contoh :
·      kanca + ne → kancane                [kanca] + [ne] → [kAncAne]
·      dara +ku → daraku                     [dara] + [ku] → [dArAku]
·      mata+ mu → matamu                 [mata] + [mu] → [mAtAmu]

2.        Vokal “i” memiliki dua alofon:
a.         Vokal “i” jejeg
Diucapkan seperti vokal “i” yang ada pada bahasa Indonesia. Lambang ejaan untuk vokal “i” jejeg yang kita pakai adalah [ i ].
Contoh ucapan dalam bahasa Jawa:
·           iki, siji, pari, aji, kali, dst.
b.         Vokal “i” miring
Untuk vokal ini, ucapan “i” menyerupai vokal “e” dan biasannya yang dibaca miring bagian vokal yang akhir. Lambang ejaan untuk vokal “i” miring yang kita pakai adalah [ I ].
Contoh dalam bahasa Jawa:
·           Sisir, pasir, kalih, taling, miring, dst.
Ada pengecualian untuk vokal “i” miring, vokal “i” miring akan berubah menjadi vokal “i” jejeg apabila mendapat imbuhan atau panambang: -an atau –e.
Contoh:
·           sisir + an → sisiran                   [sisIr] + [An] → [sisirAn]
·           sisir + e → sisire                       [sisIr] + [e] → [sisire]
·           siring + e → piringe                  [pirIng] + [e] → [piringe]

3.        Vokal “u” mempunyai dua alofon:
a.         Vokal “u” jejeg
Vokal “u” jejeg diucapkan seperti vokal “u” yang ada pada bahasa Indonesia. Lambang ejaan untuk vokal “u” jejeg yang kita pakai adalah [u].
Contoh:
·           Guru, turu, susu, kuku, dst.
b.         Vokal “u” miring
Untuk vokal ini, ucapan “u” menyerupai vokal “o” dan biasannya yang dibaca miring bagian vokal yang akhir. Lambang ejaan untuk vokal “u” miring yang kita pakai adalah [U]
Contoh:
·           susuh → [susUh]
·           kukur → [kukUr]
·           susur → [susUr]
Untuk vokal “u” miring terjadi adanya perubahan, vokal “u” miring akan berubah menjadi vokal “u” jejeg apabila mendapat imbuhan atau panambang: -an atau –e.
Contoh:
·           pupur + an → pupuran             [pupUr] + [An] → [pupurAn]
·           susuh + e → susuhe                  [susUh] + [e] → [susuhe]
·           tutup + e → tutupe                   [tutUp] + [e] → [tutupe]

4.        Vokal “o” mempunyai dua alofon:
c.         Vokal “o” jejeg
Vokal “o” jejeg diucapkan seperti vokal “o” yang ada pada bahasa Indonesia. Lambang ejaan untuk vokal “o” jejeg yang kita pakai adalah [o].
Contoh:
·           toko, soto, loro, dst.
d.        Vokal “o” miring
Untuk vokal ini, ucapan “o” menyerupai vokal “a”. Lambang ejaan untuk vokal “o” miring yang kita pakai adalah [O]
Contoh:
·           bolong
·           kanthong
·           gendhong

5.        Vokal “e” mempunyai dua alofon:
a.         Vokal “e” jejeg
Vokal “e” jejeg diucapkan seperti vokal “e” yang ada pada bahasa Indonesia. Lambang ejaan untuk vokal “e” jejeg yang kita pakai adalah [e].
Contoh:
·           tempe, sare, sate dst.
b.         Vokal “e” miring
Lambang ejaan untuk vokal “e” miring yang kita pakai adalah [E]
Contoh:
·           gepeng, kaleng, goreng, dst.

6.        Vokal “ê
Khusus vokal “ê” tidak mempunyai alofon. Dalam aksara Jawa vokal ini dituliskan dengan sandhangan pepet.
Contoh:
têgêl, lémpér, marmér, dst. 

Berdasarkan pembahasan diatas dapat kita ambil kesimpulan bahwa kesalahan mendasar yang semakin meluas ini tidak hanya disebabkan dari generasi sekarang. Akan tetapi dari generasi-generasi sebelum kita juga jarang memberikan contoh yang benar. Sehingga sampai sekarang atau masa depan dimungkinkan selalu berkembang dan berkembang. Entah sejak kapan itu terjadi, tapi setidaknya sedikit demi sedikit kita memberi penjelasan ilmu kebahasaan kepada masyarakat pada umumnya, guru dan siswa khususnya.
Tidak dapat dipungkiri, dari segi pendidikan seolah juga mengesampingkan pendidikan bahasa Jawa. Memang ada diantaranya yang masih melestarikan budaya Jawa dilihat dari segi bahasa, tapi jika hal tersebut tidak menjadi mayoritas tentu dirasa kurang.
Pembahasan kali ini setidaknya sedikit memberi gambaran mengenai tata bahasa dari titik dasar yaitu fonologi. Memang kami hanya memfokuskan mengenai bunyi vokal saja, itu dimaksudkan agar dapat fokus juga terhadap materi.
Semoga bermanfaat. Terimakasih.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Serat Wedhatama (Tembang Gambuh)

  SERAT WEDHATAMA Pupuh Gambuh merupakan sebuah tembang bagian dari Serat Wedhatama yang tulis oleh Kanjeng Gusti Pangeran Adhipati Arya Mangkunegara IV Kesultanan Yogyakarta. Paugerane Tembang Gambuh  ➥ Guru gatrane ana 5 Tegese saben pada (bait) dumadi saka 4 gatra (baris). ➥ Guru wilangane 7, 10, 12, 8, 8 Tegese Gatra kapisan dumadi saka pitung wanda (suku kata), gatra kapindho sepuluh wanda, gatra ketelu rolas wondo, lan gatra kaping papat kalian gatra kaping gangsal anduweni wolung wanda. ➥ Guru lagune yaiku u, u, i, u, o Tegese guru lagu yaiku tibaning swara ana ing pungkasaning gatra. Gatra kapisan kudu dipungkasi nganggo tembung kang ndhuweni swara pungkasan (U). Gatra kapindho dipungkasi swara (U), gatra kaping telu dipungkasi swara (I), gatra kaping papat dipungksi swara (U), lan gatra kaping lima dipungkasi swara (O).   Pupuh Gambuh Pada 1 48. Samengko ingsun tutur,       Sembah catur supaya lumuntur,     ...

WEWALER

 ATI-ATI MARANG PAMALI!! Wewaler atau Gugon Tuhon Pangertening Wewaler      Waler tegese pepali/ larangan. Cara panyebarane kanthi cara gethok tular saka leluhur marang putra wayah (turun temurun). Wewaler padha dene kaliyan gugon tuhon. Gugon tuhon asale saka tembung gugu lan tuhu, gugu tegese pracaya, dene tuhu tegese temenan/ nyata. Dadi pangerten saka wewaler utawa gugon tuhon yaiku wewarah utawa ajaran ing masarakat kang pantes digugu utawa diugemi. Ancase yaiku kanggo maringi pitutur luhur marang putra wayah Jinising Wewaler Gugon tuhon dibagi dadi 3 jinis: 1. Gugon tuhon salugu      Wujude yaiku crita kuna. Nyritakake golongan bocah sukerta (ala) lan terancam bakal dadi mangsane bathara kala. Cara ngilangi sukerta yaiku kudu diruwat kanthi cara mentasake wayang kulit lakon "Amurwakala". Bocah sukerta: Ontang-anting, unting-unting, uger-uger lawang, kembang sepasang, gendhana-gendhini, gendhini-gendhana, sendhang kapit pancuran, pancuran kapit s...

Crikak (Crita Cekak)

  Crikak (Crita Cekak) Luwih Ngati-Ati (Irah-Irahan)   A.     Pangertening Crita Cekak Crita cekak utawa crikak dumadi saka urutan sawijining kedadeyan utawa prastawa kang nyata utawa fiktif. Umume, awujud lelakon cekak kang wose crita munjerake sawijining paraga. Kedadeyan, paraga, lan konflik sawijining unsur pokok crita lan katelune kanthi nyawiji diarani plot utawa alur. Kanthi mangkono crita iku kudu duwe alur. Kang mbedakake karo crita liyane, crikak iku dicritakake sepisan rampung, lan bisa nuduhake karampungane crita. Mula ing padatan cerkak mung tinulis kanthi cekak lan prasaja.   B.     Titikane Crita Cekak 1.     Critane ringkes 2.     Isine padhet 3.     Basane mentes 4.     Alure mung siji 5.     Nyritakake saperangan lelakon uripe sawijining paraga 6.     Isine ngemot pitutur, panyaruwe, piweling, lan pasemon   ...